Dua raksasa teknologi dunia, Apple dan Meta (Facebook), tengah jadi sorotan. Bukan karena produk baru atau fitur canggih, melainkan karena denda besar-besaran dari Uni Eropa yang nilainya mencapai ratusan juta euro. Alasannya? Mereka dianggap melanggar aturan baru Uni Eropa yang dikenal sebagai Digital Markets Act (DMA)—sebuah regulasi yang dirancang untuk menertibkan para “penguasa digital”.
Apple dikenai denda €500 juta atau sekitar Rp8,8 triliun karena membatasi pengembang aplikasi untuk mengarahkan pengguna ke metode pembayaran alternatif di luar App Store. Praktik ini disebut “anti-steering”, dan dianggap sebagai bentuk monopoli yang merugikan pengembang serta konsumen. Meski Apple sudah melakukan beberapa penyesuaian—seperti menurunkan komisi dan membuka jalur pembayaran lain—Komisi Eropa belum puas. Jika perubahan mereka dianggap masih tidak sesuai, Apple bisa terkena denda tambahan hingga €50 juta per hari.
Di sisi lain, Meta juga tidak lepas dari masalah. Perusahaan induk dari Facebook dan Instagram itu disorot karena menerapkan model “consent or pay”. Artinya, pengguna harus memilih: menerima iklan personalisasi atau membayar agar bebas dari pelacakan. Model ini dinilai melanggar prinsip privasi dan kebebasan konsumen, dan Uni Eropa menjatuhkan denda €200 juta, dengan potensi denda harian mencapai €25 juta jika tak ada perbaikan sebelum batas waktu 4 Juli 2025.
Uni Eropa tegas. Mereka menyebut bahwa perusahaan-perusahaan besar tidak bisa terus memainkan aturan sendiri hanya karena memiliki banyak pengguna. DMA bertujuan menciptakan pasar digital yang lebih terbuka, sehat, dan adil. Bagi pengguna, ini berarti lebih banyak pilihan, transparansi, dan kontrol atas data pribadi. Bagi pengembang, ini bisa jadi momentum untuk bersaing tanpa khawatir dimatikan oleh dominasi satu platform.
Apple menanggapi dengan keberatan. Mereka menyebut bahwa perubahan yang dilakukan sudah sangat besar dan bahkan melebihi permintaan awal dari Uni Eropa. Meta juga membela diri, mengklaim bahwa model mereka tetap memberi pilihan kepada pengguna. Namun, sejumlah pihak tetap mengkritik, termasuk Epic Games yang menyebut kebijakan Apple sebagai “lelucon yang mencederai persaingan sehat”.
Denda besar ini bukan hanya hukuman. Ini juga sinyal keras bagi semua pemain besar di dunia digital: aturan main kini berubah, dan tidak peduli seberapa besar pengaruh sebuah perusahaan, mereka tetap harus patuh jika ingin terus beroperasi di Eropa. Bahkan banyak pihak memprediksi bahwa kebijakan serupa akan menyebar ke negara lain, termasuk Indonesia, yang juga mulai menyusun regulasi digital lebih ketat.
Jadi, kalau kamu merasa mulai punya lebih banyak opsi pembayaran di aplikasi, atau iklan di media sosial terasa lebih terkendali, itu bukan kebetulan. Mungkin, ini efek dari pertarungan antara Uni Eropa dan para raksasa teknologi—yang ujung-ujungnya, membawa manfaat langsung ke tangan kita sebagai pengguna.