Ciri-Ciri Orang yang Suka Playing Victim dalam Hubungan Sehari-Hari
Dalam setiap hubungan, baik pertemanan, pekerjaan, maupun asmara, pasti ada perbedaan dan konflik. Namun, sebagian orang punya kebiasaan unik ketika menghadapi masalah: mereka selalu memposisikan diri sebagai korban. Sikap inilah yang disebut playing victim.
Orang yang suka playing victim cenderung menghindari tanggung jawab dan membuat dirinya terlihat paling tersakiti, padahal tidak selalu demikian. Untuk mengenali perilaku ini, berikut beberapa ciri yang perlu kamu pahami.

1. Selalu Menyalahkan Orang Lain
Salah satu tanda paling jelas dari playing victim adalah tidak mau mengakui kesalahan sendiri.
Setiap kali terjadi masalah, mereka akan langsung mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain.
Misalnya, ketika hubungan renggang, mereka berkata “Aku sudah berusaha, tapi kamu yang berubah,” tanpa melihat kontribusi kesalahan dari pihaknya sendiri.
2. Sering Menggunakan Kalimat Manipulatif
Orang yang suka playing victim kerap menggunakan kata-kata yang membuat lawan bicara merasa bersalah.
Contohnya:
“Aku selalu salah di matamu.”
“Kamu nggak pernah ngerti aku.”
“Aku capek terus disalahin.”
Kalimat seperti ini bukan bentuk curhat sehat, melainkan upaya untuk mendapat simpati dan mengontrol emosi orang lain.
3. Tidak Mau Bertanggung Jawab
Sikap ini terlihat saat seseorang menghindar dari konsekuensi perbuatannya.
Alih-alih mengakui kesalahan, mereka justru membalikkan fakta agar terlihat seperti korban keadaan.
Hal ini membuat hubungan jadi tidak seimbang karena satu pihak selalu harus memahami, sementara pihak lainnya terus mengelak.
4. Membesar-besarkan Masalah Kecil
Playing victim seringkali disertai drama berlebihan.
Masalah kecil bisa dibesar-besarkan seolah-olah dunia sedang melawan mereka.
Tujuannya agar orang lain merasa kasihan atau memberikan perhatian lebih.
Padahal, cara ini justru membuat hubungan menjadi melelahkan secara emosional.
5. Mencari Simpati dari Orang Lain
Ketika menghadapi konflik, orang yang playing victim biasanya mencari pembelaan dari pihak ketiga.
Mereka akan bercerita dengan versi sepihak yang menonjolkan penderitaannya.
Akibatnya, orang lain jadi terpengaruh dan melihat mereka sebagai korban yang tidak bersalah.
6. Menggunakan Luka Masa Lalu Sebagai Alasan
Sikap playing victim sering berakar dari trauma atau pengalaman buruk di masa lalu.
Namun, beberapa orang menggunakan hal itu sebagai alasan untuk membenarkan perilaku mereka saat ini.
Contohnya: “Aku memang begini karena dulu pernah disakiti.”
Padahal, pengalaman masa lalu tidak bisa terus-menerus dijadikan pembenaran untuk melukai orang lain.
7. Sulit Menerima Kritik
Ciri lain yang sering muncul adalah penolakan terhadap kritik sekecil apa pun.
Bagi orang yang suka playing victim, setiap kritik dianggap sebagai serangan pribadi.
Mereka cenderung defensif dan langsung merasa tersudut, padahal kritik bisa menjadi cara untuk memperbaiki diri.
8. Menganggap Diri Paling Menderita
Orang dengan mentalitas playing victim sering memposisikan diri sebagai orang yang paling menderita dibanding siapa pun.
Mereka sulit melihat perspektif orang lain dan lebih fokus pada kesedihan atau ketidakadilan yang dialami.
Sikap ini membuat mereka sulit berempati dan cenderung menutup diri dari solusi.
9. Sering Mengulangi Pola yang Sama
Meskipun sering terlibat dalam konflik yang serupa, mereka jarang belajar dari kesalahan.
Alih-alih introspeksi, mereka akan kembali mengulang pola yang sama: menyalahkan orang lain, mencari simpati, dan menghindar dari tanggung jawab.
Inilah alasan mengapa hubungan dengan orang yang suka playing victim sering terasa melelahkan.
10. Menggunakan Emosi Sebagai Senjata
Terakhir, orang yang suka playing victim sering menggunakan emosi seperti menangis, marah, atau diam berhari-hari untuk menarik perhatian.
Ini adalah bentuk manipulasi emosional agar orang lain merasa bersalah dan akhirnya menuruti keinginan mereka.
Kesimpulan
Playing victim bukan sekadar sifat manja, tapi bisa menjadi bentuk manipulasi emosional yang berbahaya dalam hubungan.
Jika kamu merasa berada di sekitar orang seperti ini, cobalah untuk tetap tenang, tetapkan batas yang sehat, dan jangan mudah terbawa rasa bersalah.
Sedangkan jika kamu menyadari dirimu punya kecenderungan seperti ini, langkah pertama untuk berubah adalah berani mengakui dan bertanggung jawab atas perasaan sendiri.