Sejarah

Dancing Plague di Strasbourg 1518: Tarian Maut yang Mengguncang Eropa

Riska
8 Agustus 2025
1 menit membaca
Dancing Plague di Strasbourg 1518: Tarian Maut yang Mengguncang Eropa
Bagikan:

Strasbourg, musim panas tahun 1518, kota kecil di kawasan Alsace yang saat itu menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci. Suasana kota sunyi—anak-anak bermain, pedagang menawari hasil panen, dan udara dipenuhi aroma roti panggang dan rempah.

Awal Kejadian: Frau Troffea dan Tariannya yang Tak Berhenti

Pada pertengahan Juli, seorang wanita bernama Frau Troffea tiba-tiba menari di jalanan, tanpa musik dan tanpa alasan yang jelas. Ia menari terus menerus selama berhari-hari, hingga membuat wajahnya pucat dan kakinya berdarah. Dalam satu minggu, lebih dari 30 orang ikut terjangkit—dancing mania pun mulai menyebar.

Tarian yang Tak Bisa Dikendalikan

Dengan cepat, jumlah penari melonjak menjadi antara 50 hingga 400 orang, yang terus menari hingga kolaps karena kelelahan, bahkan beberapa dikabarkan meninggal—meski catatan kontemporer tidak menyebut angka pasti.

Lembaran sejarah (kronik, catatan dokter, khotbah hingga keputusan dewan kota) mengonfirmasi kebenaran fenomena ini, meski penyebabnya masih misterius.


Apa yang Dilakukan Warga dan Pemerintah Saat Itu?

Dipercaya bahwa penyakit ini berasal dari “darah yang terlalu panas”, otoritas kota justru membuat keputusan mengejutkan: mereka mendorong penari untuk terus menari, bahkan menyewa musisi dan membangun panggung agar mereka tak berhenti.

Namun, alih-alih menyembuhkan, langkah ini justru memperparah kondisi. Penari tumbang satu per satu, sebagian jatuh karena serangan jantung atau stroke, sebagian mengalami kelelahan ekstrem.


Mengapa Fenomena Ini Terjadi? Beberapa Teori Utama

  1. Histeria Massal (Mass Psychogenic Illness)
    Teori paling banyak diterima, terutama dikemukakan oleh John Waller. Ia menjelaskan bahwa tekanan psikologis ekstrem—kelaparan, wabah, stres sosial—dipadukan dengan kepercayaan akan kutukan Santo Vitus, memicu keadaan trans massal yang tidak bisa dihentikan.

  2. Keracunan Ergot
    Jamur Claviceps purpurea pada gandum dapat menghasilkan zat mirip LSD, menimbulkan halusinasi dan kejang. Namun Waller meragukan teori ini karena korban tetap mampu menari secara ritmis, bukan sekadar kejang. Selain itu, gejala ergotism seperti gangren tidak dilaporkan.

  3. Keyakinan Religius & Kutukan Santo Vitus
    Banyak warga percaya bahwa mereka dikutuk oleh Santo Vitus dan hanya bisa sembuh melalui ritual religius. Fenomena ini sering disebut sebagai “St. Vitus’ Dance” atau “manie dansante”.

  4. Pendekatan Awal – Balancing Humors
    Dokter saat itu menyalahkan penyebabnya pada darah yang 'hangat'. Mereka menyarankan penari terus menari agar ‘mengeluarkan’ kelebihan itu—pendekatan yang, tentu saja, gagal total.

  5. Interpretasi Sosial atau Ritual
    Beberapa peneliti modern menganggap fenomena ini sebagai bentuk dramatik daripada ritual kolektif—entah itu sebagai protes sosial atau keinginan

Seorang penulis abad ke-17 menggambarkan suasana dalam puisi:

“Many hundreds in Strassburg began
To dance and hop, women and men…
Day and night; and many of them ate nothing
Until at last the sickness left them.”

Penggambaran visual lainnya memberi detail mengerikan: mata kosong, pakaian basah oleh keringat, kaki bengkak berdarah, serta tubuh yang kelelahan dan menangis tapi tetap menari.

Hingga awal September 1518, wabah ini perlahan mereda—seakan hilang secepat awalnya muncul.

Hari ini, Dancing Plague of 1518 tetap menjadi simbol misterius dari bagaimana stres sosial, budaya, dan psikologis bisa menciptakan fenomena massal yang tak masuk akal. Kisah ini terus memicu imajinasi dan inspirasi—dalam film, literatur, dan penelitian modern.

Ingin Tingkatkan Performa Bisnis Anda?

Dapatkan platform WhatsApp Blasting & AI Chatbot terbaik untuk mengoptimalkan bisnis Anda.