Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena grey divorce — istilah untuk perceraian di usia lanjut — semakin banyak terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Fenomena ini menggambarkan pasangan yang telah puluhan tahun menikah, namun memutuskan untuk berpisah di usia senja.
Secara sosial, keputusan ini kerap menimbulkan stigma. Banyak masyarakat masih menganggap perceraian di usia lanjut sebagai hal yang “tidak pantas” atau “terlambat.” Pasangan lansia yang memutuskan bercerai sering dinilai gagal mempertahankan rumah tangga, meski alasan di balik keputusan tersebut sangat beragam dan sering kali bersifat pribadi.
Psikolog keluarga menilai bahwa grey divorce tidak selalu mencerminkan kegagalan pernikahan. Justru, di banyak kasus, perceraian pada usia lanjut menjadi bentuk keberanian individu untuk mencari ketenangan, kebahagiaan, atau kebebasan setelah bertahun-tahun menekan diri dalam hubungan yang tidak lagi sehat. Faktor seperti ketidakharmonisan, perbedaan pandangan hidup, hingga kebutuhan emosional yang berubah seiring usia kerap menjadi pemicunya.
Fenomena ini juga mencerminkan perubahan cara pandang terhadap pernikahan. Generasi yang dulu tumbuh dengan nilai bahwa “pernikahan harus dipertahankan sampai akhir hayat” kini mulai berpikir lebih terbuka: bahwa setiap orang berhak untuk bahagia, terlepas dari usia.
Namun demikian, stigma sosial masih menjadi hambatan besar. Lansia yang bercerai sering kali menghadapi tekanan dari keluarga, anak, atau lingkungan sekitar yang menilai keputusan mereka egois. Padahal, di usia berapa pun, hak untuk hidup dengan damai dan merasa dihargai tetap penting untuk kesehatan mental.
Fenomena grey divorce menantang pandangan lama bahwa usia tua harus dihabiskan bersama pasangan apa pun keadaannya. Dalam konteks modern, perceraian di usia lanjut bisa menjadi bentuk keberanian untuk memilih kehidupan yang lebih jujur terhadap diri sendiri — sebuah keputusan yang, meskipun berat, lahir dari keinginan untuk hidup lebih baik di sisa waktu yang ada.