Umum

Ketika yang Menyakiti Terasa Nyaman: Sebuah Paradox Manusiawi

Riska
14 Oktober 2025
1 menit membaca
Ketika yang Menyakiti Terasa Nyaman: Sebuah Paradox Manusiawi
Bagikan:

Tidak semua orang mampu dengan mudah membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sering kali seseorang justru terjebak dalam situasi yang sebenarnya merugikan, namun mereka tetap menganggapnya “biasa saja” atau bahkan “benar”. Fenomena ini tidak selalu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, melainkan bisa berakar pada proses psikologis yang lebih dalam.

1. Normalisasi dari Lingkungan

Ketika seseorang tumbuh di lingkungan yang sering melakukan hal-hal salah — seperti manipulasi, kebohongan, atau kekerasan verbal — maka perilaku tersebut bisa dianggap “normal”. Otak manusia cenderung menyesuaikan diri dengan apa yang sering ia lihat dan alami. Akibatnya, batas antara yang benar dan salah menjadi kabur.

Contoh:
Seseorang yang terbiasa mendengar orang tuanya saling merendahkan akan menganggap hubungan penuh sindiran sebagai bentuk kasih sayang yang wajar.

2. Kebutaan Emosional (Emotional Blindness)

Dalam psikologi, ada istilah di mana emosi yang kuat — seperti cinta, rasa takut kehilangan, atau rasa bersalah — dapat menumpulkan kemampuan seseorang untuk menilai secara objektif.
Misalnya, seseorang bisa terus bertahan dalam hubungan yang menyakitkan karena rasa cintanya membuat ia menolak melihat tanda-tanda buruk yang sebenarnya jelas.

3. Kognitif Bias dan Pembenaran Diri

Manusia memiliki kecenderungan alami untuk membenarkan perilakunya sendiri (self-justification). Bahkan ketika seseorang tahu tindakannya salah, ia akan mencari alasan untuk membuatnya tampak masuk akal.
Ini disebut cognitive dissonance — konflik batin antara nilai moral dan tindakan. Untuk mengurangi ketegangan itu, otak akan “menyesuaikan” cara berpikir agar tetap merasa nyaman.

Contoh:
“Tidak apa-apa aku berbohong, toh demi kebaikan.”

4. Minimnya Refleksi Diri

Kemampuan membedakan hal baik dan buruk juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk merenung dan mengamati dirinya sendiri. Ketika seseorang jarang melakukan refleksi — misalnya bertanya, “Apakah ini benar?” atau “Apakah ini menyakiti orang lain?” — maka kesadaran moralnya tidak berkembang.
Refleksi diri adalah cermin batin yang membantu manusia menilai tindakannya secara jujur. Tanpanya, seseorang mudah tersesat dalam kebiasaan tanpa arah.

5. Trauma dan Mekanisme Bertahan

Beberapa orang kesulitan menilai hal buruk karena trauma masa lalu membuat mereka menormalkan rasa sakit. Trauma dapat mengubah cara otak memproses bahaya dan kenyamanan. Akibatnya, situasi yang tidak sehat bisa terasa “aman” karena mirip dengan pola lama yang familiar.
Misalnya, seseorang yang tumbuh dengan orang tua yang keras bisa menganggap pasangan yang kasar sebagai bentuk “perhatian”.

6. Kurangnya Pendidikan Moral dan Empati

Dalam dunia modern yang serba cepat, banyak orang lebih fokus pada hasil ketimbang nilai. Tanpa pemahaman moral dan empati yang kuat, seseorang mudah terjebak pada keputusan yang tampak menguntungkan tapi merugikan secara etis.
Empati adalah kompas moral yang membantu kita mengenali ketika sesuatu melukai orang lain. Tanpa empati, batas “buruk” jadi sulit dirasakan.


🔹 Kesimpulan

Kesulitan membedakan hal buruk bukan tanda seseorang bodoh, tetapi tanda adanya ketidakseimbangan antara logika, emosi, dan pengalaman hidup. Untuk memperbaikinya, seseorang perlu belajar mengenal dirinya, membuka diri terhadap sudut pandang baru, dan berani menghadapi kebenaran yang mungkin tidak nyaman.

Karena kadang, untuk bisa membedakan mana yang buruk, seseorang harus terlebih dahulu berani melihat luka yang pernah ia anggap biasa.


Ingin Tingkatkan Performa Bisnis Anda?

Dapatkan platform WhatsApp Blasting & AI Chatbot terbaik untuk mengoptimalkan bisnis Anda.