Columbia University, salah satu universitas bergengsi di dunia, kembali menjadi sorotan. Kali ini bukan karena prestasi akademiknya, melainkan karena keputusan kontroversial yang melibatkan seorang mahasiswanya. Seorang mahasiswa dikeluarkan dari Columbia University setelah mengembangkan proyek kecerdasan buatan (AI) yang dinilai melanggar etika akademik.
Kabar ini dengan cepat menyebar di kalangan akademisi dan komunitas teknologi, menimbulkan perdebatan hangat tentang batas antara inovasi, kebebasan berkreasi, dan etika akademik.
Mahasiswa yang identitasnya disamarkan demi alasan privasi itu merupakan salah satu peserta program ilmu komputer. Ia menciptakan sebuah platform AI yang dapat membantu pengguna menulis esai dan tugas-tugas akademik secara otomatis—dengan struktur kalimat yang sangat menyerupai tulisan manusia asli.
Awalnya, proyek tersebut hanya digunakan secara pribadi dan dibagikan dalam lingkaran kecil. Namun, dalam waktu singkat, platform itu menyebar dan digunakan oleh banyak mahasiswa lain untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka tanpa menulis sendiri. Inilah yang menjadi titik awal investigasi internal Columbia University.
Setelah melalui penyelidikan selama beberapa minggu, pihak universitas memutuskan untuk mengeluarkan mahasiswa tersebut, dengan alasan bahwa proyek AI-nya melanggar kebijakan integritas akademik dan mendorong praktik plagiarisme teknologi.
Dalam pernyataan resminya, Columbia menekankan bahwa meskipun mereka sangat mendukung inovasi teknologi, AI yang dirancang untuk menggantikan proses belajar secara langsung melanggar prinsip akademik kampus.
“Teknologi tidak bisa menjadi pengganti upaya intelektual mahasiswa. Proyek ini menciptakan ketergantungan yang tidak sehat dan mengancam esensi pendidikan,” tulis dewan etika akademik Columbia.
Selain itu, pihak kampus menambahkan bahwa proyek AI tersebut tidak melalui persetujuan etika penelitian, serta tidak memiliki mekanisme kontrol atas bagaimana teknologi itu digunakan oleh pengguna lain.
Keputusan Columbia University menuai pro dan kontra. Di satu sisi, banyak pihak yang memuji keberanian kampus dalam menegakkan standar integritas akademik. Namun di sisi lain, muncul suara-suara yang menganggap hukuman drop out terlalu berat, mengingat mahasiswa tersebut hanya bertindak sebagai inovator, bukan pengguna utama AI untuk kecurangan.
Komunitas teknologi menyuarakan keprihatinan terhadap keputusan ini, menyebutnya sebagai kemunduran terhadap kebebasan berinovasi.
“Bukankah seharusnya kampus menjadi ruang aman untuk eksperimen dan eksplorasi teknologi?” tulis salah satu pengguna Twitter yang juga peneliti AI.
Mahasiswa Columbia ini menciptakan AI “All-In-One”
Mahasiswa tersebut, yang berasal dari program studi teknik komputer, diketahui mengembangkan sebuah sistem AI canggih yang bukan hanya bisa menulis esai, tapi juga menyamar sebagai mahasiswa sungguhan.
Berikut fitur-fitur utama dari proyek AI-nya:
1. Penjawab Tugas Otomatis dan Analisis Soal
Sistem ini terhubung langsung ke LMS (Learning Management System) seperti Canvas. Pengguna bisa mengunggah soal atau bahkan sekadar memberikan tangkapan layar, dan AI akan langsung menjawab soal pilihan ganda, esai, hingga soal matematika kompleks.
AI juga dapat menganalisis pola soal dari dosen tertentu dan memberi prediksi soal ujian berikutnya.
2. AI Peniru Suara untuk Menjawab Telepon Dosen
Salah satu fitur paling kontroversial adalah “AI Phone Proxy”, yakni sebuah modul yang memungkinkan AI menjawab panggilan telepon dari dosen atau pihak kampus menggunakan suara sintetis yang meniru suara asli mahasiswa.
Dengan teknologi deepfake audio, AI ini bisa melakukan percakapan dasar seperti “maaf saya sedang tidak bisa hadir” atau “saya sedang sakit”, dengan suara dan intonasi menyerupai pemilik akun.
3. Pengisi Forum dan Email Akademik Otomatis
AI ini bisa secara otomatis membalas email dosen, mengisi forum diskusi mingguan, bahkan merespons komentar rekan mahasiswa. Semuanya dilakukan dengan bahasa formal dan konteks yang konsisten.
Dengan kata lain: kehadiran digital mahasiswa bisa sepenuhnya disimulasikan oleh AI.
4. Mode “Stealth Cheating”
Fitur paling sensitif dari semua adalah mode ini. AI akan menyamar sebagai mahasiswa aktif yang mengetik, membuka dokumen, dan mengisi jawaban secara perlahan, menyisipkan kesalahan kecil agar tampak manusiawi. AI bahkan bisa membuat catatan atau rekam jejak aktivitas palsu agar terdeteksi “natural” oleh sistem kampus.
Teknologi Canggih, Tujuan yang Salah
Secara teknis, proyek ini sangat mengesankan. Mahasiswa tersebut memanfaatkan berbagai teknologi seperti:
Large Language Model untuk pengolahan teks
Speech synthesis dan voice cloning untuk menjawab panggilan
Computer vision untuk membaca dokumen/gambar soal
Integrasi API ke platform akademik kampus
AI saat ini sudah merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Namun, ketika digunakan secara berlebihan—atau bahkan menggantikan proses berpikir manusia—muncul risiko kehilangan nilai belajar yang sesungguhnya.
Beberapa pakar menyarankan agar kampus mulai menerapkan kebijakan dan panduan etika yang jelas terkait penggunaan AI di lingkungan akademik, daripada langsung memberi sanksi tanpa ruang diskusi.
Inovasi harus diiringi dengan kesadaran etika.
Menciptakan teknologi canggih tidak selalu berarti kita bebas menggunakannya tanpa batas.
Institusi pendidikan perlu proaktif merespons perkembangan teknologi.
Peraturan dan kebijakan harus diperbarui agar tetap relevan dengan zaman.
Mahasiswa perlu memahami tanggung jawab sosial dari setiap proyek yang dikembangkan.
Sebuah teknologi bisa berdampak besar—baik atau buruk—tergantung pada bagaimana ia digunakan dan didistribusikan.
Peristiwa ini menjadi refleksi penting bahwa kemajuan teknologi tidak bisa dilepaskan dari konteks etika dan moral. AI memiliki potensi luar biasa, tetapi jika tidak diarahkan dengan benar, ia juga bisa menjadi alat untuk merusak nilai-nilai dasar pendidikan.
Bagi para mahasiswa dan inovator muda, ini adalah pengingat bahwa menjadi pencipta teknologi bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga soal tanggung jawab terhadap dampaknya.