Selama puluhan tahun, Tupperware identik dengan wadah makanan berkualitas tinggi dan gaya hidup rumah tangga modern. Produk-produk plastik ini pernah menjadi simbol kerapihan dapur dan efisiensi penyimpanan—bahkan diwariskan antargenerasi. Tapi siapa sangka, merek yang dulunya begitu kuat ini akhirnya harus mengajukan perlindungan pailit.
Kebangkrutan Tupperware bukan terjadi dalam semalam. Ada banyak faktor yang menyebabkan runtuhnya bisnis legendaris ini. Dari model bisnis yang tak lagi relevan, hingga persaingan ketat di era digital—berikut adalah rangkuman penyebab utama kenapa Tupperware bisa tumbang.
1. Model Bisnis "Party Plan" yang Ketinggalan Zaman
Tupperware dulu sangat populer karena pendekatan penjualan langsung melalui "Tupperware Party", di mana konsultan menjual produk lewat acara rumah tangga. Namun, metode ini tidak relevan lagi di era digital. Konsumen kini lebih suka berbelanja online dengan cepat dan praktis, sementara Tupperware masih bergantung pada cara lama.
2. Terlambat Beradaptasi ke Dunia Digital
Tupperware terlambat membangun kehadiran digital. Mereka baru mulai aktif di e-commerce pada 2021 dan mulai menjual produknya di platform besar seperti Amazon dan Target pada akhir 2022. Ketika akhirnya hadir secara online, banyak konsumen sudah terbiasa dengan merek alternatif yang lebih mudah ditemukan dan sering muncul di hasil pencarian.
3. Biaya Operasional yang Meningkat
Pasca pandemi, biaya produksi dan logistik meningkat drastis. Harga bahan baku plastik, ongkos tenaga kerja, dan biaya distribusi melonjak. Sementara itu, pendapatan terus menurun. Perusahaan juga memiliki beban utang yang sangat besar, membuat keuangannya makin tertekan.
4. Menurunnya Permintaan Konsumen
Popularitas Tupperware menurun secara global. Pendapatan mereka merosot hampir setengahnya dibandingkan satu dekade lalu. Di banyak negara, termasuk Indonesia, permintaan menurun karena daya beli konsumen melemah dan banyaknya pilihan produk serupa dengan harga lebih terjangkau.
5. Persaingan dari Produk Alternatif
Kini, pasar dipenuhi wadah penyimpanan dari berbagai merek dengan harga lebih murah, desain menarik, dan bahkan ramah lingkungan. Produk dari bahan kaca atau BPA-free dianggap lebih sehat dan modern, membuat Tupperware kehilangan daya tariknya di mata konsumen muda.
6. Gagalnya Strategi Restrukturisasi
Meskipun sempat mengganti CEO dan mencoba restrukturisasi keuangan, langkah-langkah tersebut tidak cukup menyelamatkan perusahaan. Pabrik terakhir mereka di AS akhirnya ditutup pada pertengahan 2024, menandakan tekanan besar yang tak bisa ditahan lagi.
Tindakan Akhir: Ajukan Perlindungan Pailit
Pada September 2024, Tupperware secara resmi mengajukan perlindungan pailit (Chapter 11) di AS. Langkah ini diambil karena beban utang yang membengkak, penjualan yang terus turun, dan kegagalan dalam restrukturisasi. Perusahaan tetap beroperasi, tapi dalam skala yang lebih kecil dan dengan pemilik baru setelah proses akuisisi selesai.
Pelajaran dari Bangkrutnya Tupperware
Adaptasi Teknologi adalah Kunci: Perusahaan harus mampu bertransformasi sesuai perubahan zaman.
Kontrol Biaya Operasional: Biaya yang tidak terkendali bisa mematikan bisnis, tak peduli sekuat apa mereknya.
Jangan Terlalu Bergantung pada Satu Model Penjualan: Diversifikasi saluran penjualan sangat penting.
Ikuti Tren Konsumen: Inovasi dan pemahaman terhadap preferensi konsumen sangat menentukan masa depan merek.
Kisah kebangkrutan Tupperware bukan hanya soal penurunan penjualan, tetapi akibat kombinasi dari kegagalan beradaptasi, membengkaknya biaya, dan strategi yang kurang tepat. Ini menjadi pengingat bahwa sebesar apa pun sebuah merek, tanpa inovasi dan respon cepat terhadap perubahan, mereka bisa kehilangan relevansi dan tumbang di tengah persaingan yang semakin ketat.