Sejarah

Sejarah Perpecahan Sudan dan Krisis yang Masih Berlanjut Hingga Sekarang

Riska
31 Oktober 2025
1 menit membaca
Sejarah Perpecahan Sudan dan Krisis yang Masih Berlanjut Hingga Sekarang
Bagikan:

Sudan merupakan salah satu negara di Afrika yang memiliki sejarah panjang penuh konflik, perang saudara, dan perpecahan. Dari masa kolonial hingga konflik modern yang pecah pada 2023, negara ini menjadi contoh nyata bagaimana ketegangan etnis, agama, dan politik dapat memecah belah sebuah bangsa. Kisah perpecahan Sudan bukan hanya sejarah masa lalu, tetapi juga tragedi yang terus berlangsung hingga hari ini.


Akar Sejarah dan Warisan Kolonial

Perjalanan Sudan sebagai sebuah negara modern dimulai dari masa kolonial ketika wilayah ini berada di bawah kekuasaan ganda Inggris dan Mesir, dikenal sebagai Anglo-Egyptian Sudan. Ketika meraih kemerdekaan pada tahun 1956, Sudan mewarisi garis perpecahan yang dalam antara wilayah utara dan selatan. Bagian utara didominasi oleh kelompok Arab dan beragama Islam, sementara selatan dihuni oleh suku-suku Afrika yang beragama Kristen atau menganut kepercayaan tradisional.

Perbedaan identitas ini segera menjadi sumber ketegangan. Pemerintah pusat di Khartoum yang didominasi elit utara dianggap menindas dan mengabaikan wilayah selatan. Ketidakadilan dalam distribusi sumber daya, representasi politik, dan kebijakan budaya yang memaksakan arabisasi menimbulkan perlawanan bersenjata yang berlangsung selama puluhan tahun.


Perang Saudara Pertama dan Kedua

Perang Saudara Sudan pertama pecah pada tahun 1955, bahkan sebelum kemerdekaan resmi diumumkan. Konflik ini berlangsung hingga 1972 dan berakhir dengan Perjanjian Addis Ababa yang memberi otonomi bagi Sudan Selatan. Namun perdamaian tidak bertahan lama. Pada tahun 1983, perang saudara kedua kembali meletus setelah pemerintah pusat membatalkan otonomi selatan dan memberlakukan hukum syariah di seluruh negara.

Selama lebih dari dua dekade, Sudan menjadi medan perang antara pemerintah yang didukung oleh kekuatan militer dan kelompok pemberontak dari Selatan yang dipimpin oleh Sudan People’s Liberation Army (SPLA) di bawah komando John Garang. Konflik ini menelan lebih dari dua juta korban jiwa dan memaksa jutaan lainnya mengungsi. Perang berakhir dengan ditandatanganinya Comprehensive Peace Agreement (CPA) pada tahun 2005 yang membuka jalan bagi referendum kemerdekaan bagi wilayah selatan.


Lahirnya Negara Baru: Republik Sudan Selatan

Pada Juli 2011, Sudan Selatan resmi memisahkan diri dan menjadi negara merdeka. Peristiwa ini menandai salah satu pembelahan terbesar dalam sejarah modern Afrika. Banyak yang berharap kemerdekaan tersebut akan membawa perdamaian abadi, tetapi kenyataannya lebih rumit. Kedua negara masih berselisih mengenai pembagian sumber daya minyak, penentuan batas wilayah, dan status daerah kaya minyak seperti Abyei.

Di sisi lain, Sudan di utara kehilangan sebagian besar pendapatan minyaknya dan menghadapi ketidakstabilan ekonomi. Rezim Omar al-Bashir yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun mencoba mempertahankan kendali, namun akhirnya tumbang pada 2019 setelah gelombang protes rakyat. Jatuhnya al-Bashir seharusnya menjadi awal baru bagi Sudan, tetapi transisi menuju pemerintahan sipil justru membuka babak baru konflik.


Konflik 2023: Pertempuran Dua Kekuatan Militer

Pada April 2023, Sudan kembali terjerumus ke dalam perang saudara. Kali ini bukan antara utara dan selatan, melainkan antara dua kekuatan yang pernah bekerja sama menumbangkan al-Bashir: Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) di bawah komando Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemeti.

Pertempuran dimulai di ibu kota Khartoum dan dengan cepat menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Darfur, Kordofan, dan bagian timur negara itu. Kedua pihak saling klaim sebagai penyelamat Sudan, namun di lapangan, korban sipil terus berjatuhan. Rumah sakit hancur, infrastruktur lumpuh, dan lebih dari sepuluh juta orang dipaksa mengungsi. Laporan dari berbagai lembaga kemanusiaan menggambarkan situasi di Sudan sebagai salah satu krisis terbesar di dunia saat ini.


Darfur: Luka Lama yang Terbuka Kembali

Darfur, wilayah barat Sudan, kembali menjadi pusat perhatian dunia setelah kekerasan brutal meningkat pada tahun 2024 dan 2025. Wilayah ini sebelumnya sudah terkenal karena genosida yang terjadi pada awal 2000-an, ketika milisi Janjaweed yang kini berevolusi menjadi RSF menyerang komunitas non-Arab. Dalam konflik terbaru, laporan menyebutkan ribuan orang tewas di kota El Fasher akibat serangan pasukan RSF. Banyak pihak menilai peristiwa ini sebagai bentuk genosida baru.

Kekerasan yang berulang di Darfur memperlihatkan bahwa perpecahan sosial dan etnis di Sudan belum pernah benar-benar pulih. Setiap kali kekuasaan di pusat melemah, wilayah pinggiran kembali menjadi ajang perebutan kekuasaan yang berdarah.


Ancaman Perpecahan Baru

Kini, Sudan berada di ambang perpecahan lagi. Dengan RSF menguasai sebagian besar wilayah barat, termasuk Darfur, dan SAF bertahan di utara serta timur, negara ini secara de facto terbagi dua. Beberapa pengamat menyebut situasi ini sebagai langkah awal menuju pembentukan pemerintahan tandingan. RSF bahkan telah mendeklarasikan struktur pemerintahan sendiri di wilayah yang mereka kuasai.

Namun, perpecahan formal masih mendapat tentangan dari banyak pihak, termasuk Uni Afrika dan negara tetangga seperti Mesir, yang menganggap disintegrasi Sudan sebagai ancaman serius bagi stabilitas regional. Meski begitu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa otoritas pusat hampir tidak lagi mampu mengontrol seluruh wilayah negara.


Dampak Kemanusiaan dan Krisis Regional

Krisis di Sudan bukan hanya soal politik dan militer. Dampak kemanusiaannya sangat besar. Ribuan anak-anak kehilangan pendidikan, kelaparan meluas, dan wabah penyakit seperti kolera merebak di berbagai wilayah. Lembaga kemanusiaan menghadapi kesulitan menjangkau korban karena pertempuran terus berlangsung dan akses logistik tertutup.

Negara-negara tetangga seperti Chad, Mesir, dan Sudan Selatan kini menanggung beban pengungsi yang terus meningkat. Kondisi ini memperburuk ketegangan regional dan menimbulkan kekhawatiran akan meluasnya konflik lintas batas.


Masa Depan Sudan: Antara Harapan dan Kehancuran

Apakah Sudan akan kembali bersatu atau terpecah menjadi beberapa negara baru masih menjadi pertanyaan besar. Banyak kalangan menilai bahwa perdamaian hanya bisa tercapai jika kedua pihak bersedia duduk bersama dan membentuk pemerintahan sipil yang inklusif. Namun hingga akhir 2025, upaya negosiasi belum menunjukkan hasil yang berarti.

Masyarakat internasional menghadapi dilema: intervensi militer bisa memperburuk keadaan, sementara pembiaran dapat menyebabkan kehancuran total. Di tengah ketidakpastian ini, rakyat Sudan terus menjadi korban dari ambisi politik dan perebutan kekuasaan yang tidak berkesudahan.


Kesimpulan

Sejarah Sudan adalah kisah panjang tentang perjuangan identitas, kekuasaan, dan keadilan. Dari masa kolonial hingga perang saudara modern, dari kemerdekaan Sudan Selatan hingga konflik baru antara SAF dan RSF, negara ini terus bergulat dengan luka lama yang belum sembuh.

Perpecahan Sudan bukan hanya peristiwa politik, melainkan juga cerminan rapuhnya struktur sosial dan nasionalisme di kawasan tersebut. Hingga kini, Sudan masih mencari jalannya menuju perdamaian sejati—jalan yang tampaknya masih panjang dan penuh penderitaan.


Ingin Tingkatkan Performa Bisnis Anda?

Dapatkan platform WhatsApp Blasting & AI Chatbot terbaik untuk mengoptimalkan bisnis Anda.