Di tengah ancaman deforestasi yang terus meningkat, sebuah komunitas adat di Sulawesi Selatan menjadi sorotan dunia karena kemampuannya menjaga kelestarian hutan tropis secara turun-temurun. Suku Kajang, yang bermukim di Tanah Toa, Kabupaten Bulukumba, tidak hanya mempertahankan hutan adat mereka dari kerusakan, tetapi juga hidup dalam perjanjian suci dengan alam yang mereka anggap sebagai bagian dari jiwa mereka sendiri.
Suku Kajang adalah komunitas adat yang hidup di wilayah Tanah Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Mereka terbagi menjadi dua kelompok utama:
Kajang Dalam: Kelompok inti yang hidup sangat dekat dengan adat istiadat dan menolak modernisasi. Mereka mengenakan pakaian hitam, berjalan kaki ke mana-mana, dan hidup dari alam dengan prinsip kesederhanaan.
Kajang Luar: Masyarakat di luar inti adat yang hidup lebih terbuka terhadap pengaruh luar, namun tetap menghormati aturan dan budaya Suku Kajang.
Yang membuat komunitas ini istimewa adalah filosofi hidup mereka yang dikenal dengan istilah “Kamase-masea”—hidup apa adanya, secukupnya, tanpa keserakahan.
Borong Karama: Hutan Keramat yang Tak Tersentuh
Di dalam wilayah adat Suku Kajang, terdapat hutan yang disebut Borong Karama, yang secara harfiah berarti "hutan keramat". Hutan ini bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga memiliki makna spiritual yang dalam. Masyarakat Kajang percaya bahwa roh para leluhur tinggal di dalam hutan ini, dan siapa pun yang merusaknya akan mendapat kutukan.
Karena itu, tidak ada penebangan liar, tidak ada tambang, tidak ada pembakaran hutan. Semua aktivitas yang berkaitan dengan alam harus melalui izin adat dan ritual khusus, termasuk sekadar mengambil kayu atau air dari hutan.
Hasilnya? Borong Karama tetap lestari hingga hari ini, di saat banyak hutan tropis lain di Indonesia mengalami degradasi berat.
Sanksi adat yang Lebih Kuat dari Hukum Negara
Sistem hukum adat Suku Kajang sangat kuat dan ditaati. Siapa pun yang melanggar aturan adat bisa dikenai sanksi tegas, mulai dari denda, pengucilan sosial, hingga hukuman moral yang berdampak panjang. Karena sanksi ini berbasis pada nilai spiritual dan sosial, masyarakat benar-benar mematuhinya dengan kesadaran penuh, bukan karena takut pada otoritas negara.
Hal ini menciptakan lingkungan sosial yang harmonis, bersih, dan berkelanjutan, di mana hutan benar-benar dijaga oleh seluruh komunitas, bukan hanya segelintir orang.
Suku Kajang dan Komitmen Sakral terhadap Alam
Apa yang membuat hutan di wilayah Kajang tetap lestari bukan hanya aturan adat atau sanksi sosial—tetapi adanya sebuah perjanjian suci antara manusia dan alam yang disebut dalam bahasa lokal sebagai “Pasang ri Kajang”.
pa Itu "Pasang ri Kajang"?
Pasang adalah pesan atau amanat leluhur yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Bukan hanya aturan hidup biasa, Pasang adalah perjanjian spiritual yang sakral. Dalam konteks lingkungan, Pasang mengandung nilai-nilai tentang:
Larangan merusak hutan dan tanah
Kewajiban menjaga keseimbangan alam
Hubungan spiritual antara manusia, bumi, dan leluhur
Salah satu ajaran penting dalam Pasang menyebutkan:
“Tana’ iya boronga, iya pappasangang ri lino”
(Tanah dan hutan adalah amanat, bukan milik pribadi.)
Dengan prinsip ini, masyarakat Kajang meyakini bahwa tanah, air, hutan, dan udara bukanlah milik yang bisa diperjualbelikan, melainkan warisan suci yang harus dijaga bersama demi keberlangsungan kehidupan.
Perjanjian Suci yang Dijaga dengan Disiplin dan Kesadaran Kolektif
Setiap individu di dalam komunitas Kajang—khususnya Kajang Dalam—tunduk secara sadar pada Pasang. Mereka tidak menebang pohon sembarangan, tidak membakar hutan, tidak merusak sumber air, dan tidak mengeksploitasi hasil hutan berlebihan.
Semua dilakukan tanpa tekanan hukum modern, melainkan berdasarkan komitmen spiritual dan sosial terhadap perjanjian leluhur.
Simbolisme dan Praktik Nyata
Pakaian serba hitam: Warna hitam bukan sekadar simbol budaya, tapi bentuk penolakan terhadap kemewahan dan simbol kesetaraan. Ini memperkuat prinsip kamase-masea (hidup sederhana).
Hutan larangan (Borong Karama): Dianggap sebagai rumah roh leluhur dan dewa penjaga. Tidak boleh dimasuki sembarangan.
Pengambilan hasil hutan: Hanya boleh dilakukan jika benar-benar perlu, dengan izin adat dan upacara kecil sebagai bentuk penghormatan kepada alam.
Dunia Modern Mulai Mengakui Kekuatan Tradisi Ini
Pengakuan terhadap peran penting Suku Kajang dalam konservasi hutan tropis datang dari berbagai kalangan—akademisi, pegiat lingkungan, hingga organisasi internasional seperti:
Rainforest Foundation
Forest Peoples Programme
UNESCO
Laporan global bahkan menyebut bahwa wilayah adat Kajang memiliki tingkat deforestasi mendekati nol, menjadikannya salah satu kawasan hutan paling lestari di Indonesia.
Ancaman Eksternal vs. Kekuatan Perjanjian Leluhur
Meskipun telah mendapat pengakuan dunia, komunitas Kajang tetap menghadapi ancaman:
Ekspansi pembangunan dan investasi
Konflik lahan dengan pihak luar
Modernisasi yang perlahan menyusup ke generasi muda
Namun hingga saat ini, Pasang sebagai perjanjian suci tetap hidup, menjadi pelindung terakhir hutan dan nilai kehidupan masyarakat Kajang.
Pengakuan dari Dunia Internasional
Ketika banyak komunitas adat terpinggirkan, Suku Kajang justru mendapat pengakuan dunia. Organisasi lingkungan internasional seperti UNESCO, Forest Peoples Programme, dan Greenpeace telah meneliti dan mendukung pendekatan konservasi yang mereka lakukan.
Beberapa tahun lalu, Suku Kajang menjadi bagian dari laporan global yang menyatakan bahwa hutan adat yang dikelola oleh masyarakat adat terbukti lebih tahan terhadap deforestasi dibandingkan hutan negara.
Suku Kajang dinobatkan sebagai salah satu penjaga hutan tropis terbaik di dunia, bukan karena teknologi, tapi karena nilai-nilai lokal yang terinternalisasi kuat dalam budaya mereka.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Suku Kajang?
Hidup tidak harus konsumtif untuk bahagia.
Alam bukan objek ekonomi, tapi bagian dari kehidupan yang harus dijaga bersama.
Kearifan lokal bisa menjadi solusi nyata untuk krisis global.
Pelestarian lingkungan tidak selalu memerlukan kebijakan kompleks—kadang cukup dengan kesadaran dan kebersamaan komunitas.
Suku Kajang di Bulukumba bukan hanya pelindung hutan, tetapi pelindung masa depan. Mereka telah menjaga hutan tropis Sulawesi Selatan selama ratusan tahun dengan cara yang nyaris tidak terbayangkan oleh dunia modern.
Dalam era di mana banyak orang mencari solusi teknologi untuk masalah lingkungan, Suku Kajang hadir sebagai pengingat bahwa terkadang jawaban terbaik datang dari masa lalu. Dari nilai-nilai yang bersahaja, dari relasi manusia dan alam yang lebih spiritual dan harmonis.