Di era media sosial yang penuh kutipan motivasi dan senyum palsu, kita sering mendengar kalimat seperti “Jangan sedih, tetap semangat!” atau “Lihat sisi baiknya saja.” Sekilas terdengar baik, tetapi ternyata ada fenomena yang disebut toxic positivity — sikap positif yang berlebihan dan memaksakan, sehingga justru bisa menyakiti diri sendiri maupun orang lain.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah kondisi di mana seseorang memaksakan diri atau orang lain untuk selalu berpikir positif tanpa mengakui emosi negatif yang sebenarnya dirasakan. Alih-alih memberi ruang untuk sedih, marah, atau kecewa, semua emosi itu ditekan dengan dalih “harus selalu bahagia.”
Contohnya:
Mengabaikan perasaan dengan berkata, “Kamu nggak boleh sedih.”
Meremehkan masalah dengan, “Banyak yang lebih susah daripada kamu.”
Memaksakan senyum walau hati sedang hancur.
Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?
Meskipun niatnya baik, positif yang berlebihan bisa berbalik menjadi racun karena:
Menekan emosi alami → Emosi negatif yang tidak diakui bisa menumpuk dan meledak di kemudian hari.
Membuat seseorang merasa bersalah saat tidak bisa bahagia.
Menghambat proses penyembuhan mental karena masalah sebenarnya tidak pernah dibahas.
Tanda-Tanda Kamu Terjebak Toxic Positivity
Selalu merasa harus terlihat bahagia di depan orang lain.
Menganggap emosi negatif itu salah.
Menghibur diri dengan kalimat klise tanpa memproses masalah.
Menghindari percakapan tentang rasa sakit atau kesedihan.
Bagaimana Menghindari Toxic Positivity?
Akui perasaan – Tidak apa-apa untuk marah, kecewa, atau sedih.
Berempati, bukan menghakimi – Saat teman curhat, dengarkan dulu tanpa menyuruh “cepat move on.”
Gunakan kalimat validasi – Ganti “Jangan sedih” dengan “Aku paham kamu sedang kesulitan.”
Seimbangkan pikiran positif dengan realita – Optimis boleh, tapi tetap hadapi masalah yang ada.
Kesimpulan
Toxic positivity bukan berarti kita tidak boleh berpikir positif, tetapi berpikir positif yang sehat adalah mengakui semua emosi dan tetap mencari solusi. Hidup bukan hanya soal senyum di depan kamera, tapi juga keberanian menghadapi badai di belakang layar.