Bogor, bablast - News Dalam beberapa pekan terakhir, internet dibanjiri dengan gambar-gambar yang seolah keluar dari dunia Studio Ghibli. Karakter manusia dan hewan dengan mata besar dan ekspresi lembut, latar penuh detail alam magis, serta palet warna pastel yang hangat menjadi ciri khas tren visual baru ini. Bukan, ini bukan karya terbaru Hayao Miyazaki—ini adalah hasil kreasi pengguna ChatGPT dengan bantuan fitur image generator canggih yang didukung AI.
Fitur ini memungkinkan siapa pun, bahkan tanpa latar belakang seni digital, untuk menghasilkan ilustrasi bergaya Ghibli hanya dengan mengetikkan deskripsi teks. Seiring populernya fitur ini, OpenAI selaku pengembang ChatGPT pun mengalami tantangan teknis yang cukup serius. Lonjakan penggunaan yang sangat tinggi membuat server dan GPU (graphics processing unit) mereka bekerja ekstra keras—hingga “meleleh”, menurut CEO OpenAI, Sam Altman.
“Menyenangkan melihat orang-orang menyukai gambar di ChatGPT. Tapi GPU kami meleleh,” cuit Altman melalui akun X-nya (@sama).
Baca juga: Revolusi AI di Dunia Medis: Apakah Dokter Akan Tergusur atau Terbantu?
Ghibli Style: Dari Nostalgia ke Tren Viral

Ilustrasi bergaya Ghibli memiliki daya tarik kuat karena menyentuh dua sisi sekaligus: nostalgia dan estetika. Studio Ghibli yang didirikan oleh Hayao Miyazaki dan Isao Takahata telah lama dikenal sebagai pelopor animasi penuh jiwa, dengan film-film seperti Spirited Away, My Neighbor Totoro, dan Princess Mononoke. Gaya visual mereka, yang kerap menekankan keindahan alam dan emosi manusia yang halus, kini menjadi inspirasi dalam berbagai bentuk AI art.
Fitur image generator di ChatGPT menjadi medium sempurna untuk menyalurkan nostalgia ini. Hanya dalam beberapa hari setelah diluncurkan secara luas, ribuan pengguna mulai membagikan hasil ilustrasi mereka ke media sosial—dari potret diri hingga karakter fiksi yang digubah dalam gaya Ghibli. Bahkan Sam Altman sendiri mengganti foto profilnya menjadi versi “Ghibli-fied” dari dirinya, sebuah langkah simbolik yang menegaskan bagaimana AI art telah menembus ranah budaya internet arus utama.
Dari Hiburan ke Profesional: AI Art sebagai Alat Kreatif Baru
Yang menarik, tren ini tidak hanya berkembang di kalangan pengguna biasa yang sekadar mencari hiburan. Banyak kreator konten, desainer, dan digital marketer yang mulai memanfaatkan gambar AI bergaya Ghibli untuk keperluan profesional—mulai dari desain branding, ilustrasi artikel, materi promosi, hingga konten media sosial.
Dengan kemudahan yang ditawarkan, AI art kini menjadi solusi cepat dan efisien untuk produksi visual. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah AI art akan menggantikan ilustrator manusia?
Jawabannya tidak sesederhana itu. Banyak desainer yang justru melihat AI sebagai alat bantu kreatif, bukan pengganti. Seperti halnya Photoshop atau Canva, image generator hanya satu alat di antara banyak alat lainnya. Justru, ketika dipadukan dengan ide dan kurasi manusia, hasilnya bisa sangat luar biasa.
Namun, tetap ada tantangan besar yang harus dihadapi: lonjakan pemakaian fitur ini membuat OpenAI harus menarik rem darurat.
Pembatasan Fitur: GPU Kewalahan, Pengguna Dibatasi

Seiring meningkatnya jumlah pengguna yang bereksperimen dengan fitur gambar ini, infrastruktur OpenAI mulai kewalahan. Sistem yang menopang teknologi ini sangat bergantung pada GPU berperforma tinggi untuk menjalankan model image generator seperti DALL·E.
Demi menjaga stabilitas layanan, OpenAI pun mengumumkan pembatasan sementara. Bagi pengguna versi gratis ChatGPT, kini hanya diperbolehkan menghasilkan maksimal tiga gambar per hari. Pengguna versi berbayar tetap mendapat akses lebih luas, namun tetap di bawah kontrol sistem untuk mencegah beban berlebih.
Altman menegaskan bahwa ini hanya langkah sementara.
“Tim kami sedang bekerja keras untuk meningkatkan efisiensi sistem. Semoga tidak lama,” ujarnya dalam pernyataan resmi.
Kritik dan Kontroversi: Di Balik Keindahan Ghibli Versi AI
Di tengah euforia, suara kritis pun mulai bermunculan. Salah satu yang paling lantang adalah Hayao Miyazaki sendiri. Dalam wawancara terdahulu, sang legenda animasi Jepang ini menyatakan ketidaksukaannya terhadap karya seni yang dibuat oleh AI. Ia menyebutnya “penghinaan terhadap kehidupan”, dan menekankan bahwa seni seharusnya diciptakan dari perasaan dan pengalaman manusia, bukan algoritma.
Kritik ini membuka diskusi besar di dunia seni: apakah karya yang dihasilkan AI masih bisa disebut seni? Apakah emosi, pengalaman, dan nilai manusia bisa “ditiru” oleh kode?
Meski demikian, banyak pula yang berpendapat bahwa AI hanyalah medium baru, sama seperti kamera pada abad ke-19 yang dulu juga sempat dianggap “menghancurkan” seni lukis.
Masa Depan AI Art: Sebuah Evolusi Budaya Digital
Satu hal yang pasti, ilustrasi AI—terutama yang bergaya Ghibli—telah menjadi bagian penting dari perkembangan budaya visual digital masa kini. Ia mencerminkan keinginan kolektif masyarakat modern untuk menggabungkan teknologi canggih dengan estetika nostalgia. Fenomena ini bukan hanya soal gambar yang indah, tetapi juga tentang identitas, ekspresi diri, dan hubungan kita dengan teknologi.
Ke depan, AI art kemungkinan besar akan semakin canggih. Model generatif akan makin memahami konteks, emosi, dan gaya tertentu secara lebih presisi. Namun, tantangan soal etika, hak cipta, dan keaslian tetap harus menjadi bagian dari percakapan global.
OpenAI sendiri terus mengembangkan fitur-fitur baru untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dan tanggung jawab. Mereka mengintegrasikan sistem pengawasan dan watermark pada gambar, serta membatasi jenis prompt yang dapat dihasilkan untuk mencegah penyalahgunaan.
Dunia Ghibli di Ujung Jari
Apa yang dulunya hanya bisa dihasilkan oleh studio animasi dengan ratusan animator dan waktu bertahun-tahun, kini bisa dicapai hanya dalam hitungan detik lewat AI. Dunia Ghibli kini tak hanya ada di layar lebar, tapi juga di ujung jari siapa pun yang memiliki akses ke ChatGPT.
Namun, seperti semua alat yang kuat, teknologi ini memerlukan pemahaman dan tanggung jawab dalam penggunaannya. Jika dimanfaatkan dengan bijak, AI art bukanlah ancaman, melainkan jembatan baru menuju dunia kreatif yang lebih inklusif, cepat, dan terhubung secara global